Beranda | Artikel
Kaidah Ke-58 : Kebiasaan Berubah Menjadi Ibadah Dengan Niat Yang Shalih
Selasa, 15 Maret 2016

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima Puluh Delapan

الْعَادَاتُ تَنْقَلِبُ عِبَادَاتٍ بِالنِّيَّاتِ الصَّالِحَاتِ   

Kebiasaan berubah menjadi ibadah dengan niat yang shalih[1]

MUQADIMAH     
Sebagaimana telah kita pahami bahwa ibadah adalah pekara yang bersifat tauqifiyyah, sehingga tidak boleh seseorang melaksanakan suatu amalan ibadah, kecuali ada dalil yang menjelaskannya. Adapun perkara adat dan kebiasan, maka hukum asalnya halal dan mubah, kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Maka, perkara adat yang menjadi kebiasaan penduduk suatu negeri hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali jika menyelisihi nash syar’i, maka ketika itu wajib untuk ditinggalkan.

Seorang hamba dalam kehidupannya senantiasa berkisar antara dua hal tersebut. Adakalanya ia dalam keadaan mengerjakan amal ibadah, dan adakalanya mengerjakan aktivitas adat. Dan telah maklum bahwa waktu yang kita habiskan untuk mengerjakan aktifitas yang bersifat kebiasan dan adat itu lebih banyak daripada waktu yang kita pergunakan dalam rangka mengerjakan amal ibadah. Demikianlah keadaan kebanyakan orang.

Namun jika seseorang menerapkan kaidah ini, maka seluruh waktunya akan bernilai ibadah, dan tidak berlalu sedikit pun waktu kecuali menjadi bagian timbangan amal kebaikannya. Hal itu tidak memerlukan usaha yang besar, hanya membutuhkan pembiasaan dan kerjasama antar anggota keluarga, atau sesama rekan untuk saling mengingatkan, disertai memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla untuk bisa merealisasikannya.

MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kaidah ini menjelaskan tentang keberadaan amalan dan aktivitas yang termasuk kategori adat yang hukum asalnya mubah, namun akan bernilai ibadah apabila diiringi dengan niat yang shalih. Untuk merealisasikan hal itu, seseorang dituntut untuk memunculkan perasaan ta’abbud (peribadahan) di dalam hatinya setiap kali hendak mengerjakan perkara yang mubah tersebut, dan juga ketika mengerjakannya.  Jika hal itu dilakukan, maka perkara adat dan kebiasaan tersebut akan berubah dari statusnya  sebagai perkara yang mubah menjadi ibadah dan menjadi bagian amal kebaikan baginya.

Dengan demikian, setiap aktivitas adat kebiasaan yang kita dasari dengan niat shalih, akan berubah menjadi ibadah, sebagaimana perkara adat juga bisa berubah menjadi kemaksiatan jika disertai dengan niat yang jelek.

DALIL YANG MENDASARINYA
Kaidah ini adalah salah satu cabang dari kaidah yang termasuk lima kaidah besar dalam pembahasn fiqih yaitu kaidah al-umûru bimaqâshidihâ (setiap amalan tergantung dengan niatnya). Adapun dalil dari kaidah ini di antaranya adalah hadits ‘Umar bin Khaththâb dari  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya semua amalan itu dikerjakan dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan.” [2]

Demikian pula disebutkan dalam hadits Abu Dzar, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ، فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“Dan seseorang mencampuri istrinya pun termasuk sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh, apakah salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya, dia akan mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat kalian seandainya dia menyalurkannya di jalan yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika dia menyalurkannya pada jalan yang halal, maka dia mendapatkan pahala.”[3]

Imam Ibnu Daqîqil ‘Îd rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Telah berlalu pembahasan bahwa perkara-perkara mubah akan menjadi ketaatan dikarenakan niat. Maka, mencampuri istri akan menjadi ibadah jika seseorang meniatkannya untuk memenuhi hak istri dan mempergauliya dengan ma’ruf, atau berniat supaya mendapatkan keturunan yang shalih, atau menjaga kehormatan dirinya dan istrinya, atau selainnya dari maksud-maksud yang baik.”[4]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh penerapan kaidah yang mulia ini adalah sebagai berikut :

  1. Makan dan minum pada asalnya merupakan rutinitas dan kebiasaan keseharian yang mubah. Seseorang tidak mendapatkan pahala ataupun dosa ketika mengerjakannya. Namun, aktifitas tersebut bisa berubah dari statusnya sebagai sesuatu yang mubah menjadi suatu amalan yang bernilai ibadah dengan mengimplementasikan kaidah ini. Yaitu, sebelum seseorang meletakkan tangannya untuk mengambil makanan dan sebelum mengangkat minuman ke mulutnya, maka ia munculkan niat untuk menguatkan badannya dalam rangka beribadah dengan sarana makan dan minum itu. Hal ini dikarenakan badan tidaklah mampu melaksanakan ibadah kecuali jika mempunyai kekuatan, dan itu akan diperoleh melalui makan dan minum. Maka, hendaklah seseorang memunculkan niat yang mulia ini ketika makan dan minum, disertai dengan menerapkan adab-adab syar’i di dalamnya, seperti mengawali dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla , makan dengan tangan kanan, mulai mengambil makanan dari yang terdekat, dan lain-lain. Jika hal itu dilakukan maka waktu yang dihabiskan untuk makan dan minum itu akan bernilai ibadah dan termasuk bentuk taqarrub yang mendatangkan pahala baginya.
  2. Membeli barang-barang seperti mobil, pakaian, rumah, beraneka-ragam makanan dan minuman, perlengkapan rumah tangga dan semisalnya, asalnya adalah perkara yang mubah. Hal itu akan berubah menjadi ibadah jika diiringi dengan niat yang shalih. Misalnya, dengan niat untuk memperlancar kegiatannya dalam beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , menguatkan badannya dalam mengerjakan ketaatan, menunaikan perintah Allâh Azza wa Jalla dalam menutup aurat dan menjaga kehormatannya, serta niat-niat shalih semisalnya. Maka, dengan niat tersebut ia akan memperoleh pahala atas belanja yang dilakukannya dan menjadi bagian timbangan amalan kebaikannya nanti di Hari Kiamat.
  3. Memakai jam tangan hukum asalnya adalah mubah, akan tetapi jika seseorang memakainya dengan niat untuk menjaga waktu-waktu shalat, atau menjadikan sarana untuk menunaikan janji-janji yang telah dibuatnya, demikian pula sebagai wasilah untuk mengatur waktunya supaya senantiasa di dalam ketaatan, dan niat-niat lainnya, maka hal itu akan merubahnya dari kategori adat kebiasaan menjadi ibadah. Karena adat akan berubah menjadi ibadah dengan niat yang shalih. Dan perlu kita perhatikan bahwa niat tersebut hanyalah sekedar tekad yang ada di dalam hati, dan tidak perlu diucapkan, tidak pula diawali dengan berwudhu, atau semisalnya. Sesungguhnya niat adalah amalan hati yang sederhana dan mudah tanpa adanya kesulitan di sana.
  4. Berangkat menuju ke tempat kerja, hukum asalnya termasuk kebiasaan yang mubah. Seseorang tidak diberi pahala ataupun mendapatkan dosa atasnya. Sebagaimana dimaklumi bahwa seseorang menghabiskan banyak waktu dalam pekerjaannya. Maka, bagi seorang yang berakal semestinya berusaha untuk menjadikan aktifitas tersebut menjadi bagian amal shalihnya. Dan hal itu bisa didapatkan dengan memunculkan niat yang shalih. Di antaranya dengan niat untuk mencari harta yang halal, sehingga tidak meminta-minta kepada orang lain, dan menjadi sarana baginya untuk menunaikan kewajiban memberi nafkah kepada orang-orang yang ditanggungnya, baik istri ataupun anaknya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu  :

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya engkau tidaklah memberikan nafkah yang dengannya engkau mengharapkan wajah Allâh kecuali pasti diberi pahala atasnya, sampai makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” [5]

  1. Tidur termasuk kategori kebiasaan yang mubah, seseorang asalnya tidak mendapatkan pahala ataupun dosa karena melakukannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa seseorang akan menghabiskan banyak waktu untuk tidurnya. Maka bagaimanakah kiat supaya kebiasaan tersebut bernilai ibadah? Jawabannya: Tidur akan bernilai ibadah jika seseorang meniatkannya dengan kebaikan. Seperti berniat untuk mengembalikan kekuatan badannya dalam rangka mengerjakan amal ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Yang demikian itu dikarenakan banyaknya aktifitas sehari-hari akan menyebabkan hilangnya kekuatan badan, jika tidak diimbangi dengan istirahat. Oleh karena itu, setiap orang membutuhkan tidur, bahkan itu termasuk kebutuhan badan yang utama. Bertolak dari realita bahwa seorang tidak mungkin terlepas dari tidur, dan banyak waktu yang terpakai untuk keperluan tersebut, maka tidak sepantasnya kita menyia-nyiakan waktu tidur tanpa ada manfaat yang kita dapatkan. Kita hendaknya berupaya supaya aktifitas tersebut menjadi bagian timbangan amal kebaikan kita. Hal itu akan didapatkan dengan meniatkannya untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla  dan mengharapkan pahala dari-Nya, disertai dengan memperhatikan adab-adab ketika tidur secara syar’i, seperti berwudhu terlebih dahulu sebelumnya, mengucapkan dzikir-dzikir yang disunnahkan, dan tidur dengan sisi badan sebelah kanan. Jika seseorang melakukannya disertai dengan niat yang shalih, maka tidurnya akan berubah dari adat menjadi ibadah.
  2. Bartamasya menikmati pemandangan, keindahan alam, dan semisalnya hukum asalnya adalah mubah, selama tidak mengantarkan kepada perkara yang haram. Kegiatan tersebut bisa mendatangkan pahala bagi seseorang dan menjadi bagian timbangan amal kebaikannya, jika ia mengiringinya dengan niat yang baik. Misalnya, dengan niat untuk memberikan ketenangan, waktu rehat dan mengendurkan pikiran dan jiwa sehingga ketika beribadah bisa lebih fokus dan memusatkan perhatian. Karena jiwa akan merasakan kejenuhan dengan banyaknya rutinitas maupun pekerjaan sehari-hari. Hal ini juga akan berpengaruh pada  peribadahan seseorang. Maka, harus ada waktu khusus supaya jiwa merasakan santai dari tekanan sehingga siap untuk mengerjakan aktifitas selanjutnya, termasuk  aktifitas peribadahan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Ini adalah sebagian contoh penerapan kaidah ini, dan secara ringkas kita katakan bahwa adat kebiasaan jika dilakukan dengan niat yang baik maka menjadi amal ketaatan, dan jika dilakukan dengan niat yang jelek maka akan menjadi perkara dosa dan kemaksiatan.[6]

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Yang dimaksud dengan adat ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan manfaat dunia saja. Seperti : makan, minum, tidur, bekerja, nikah dan lainnya.
Adapun maksud ibadah di sini adalah perbuatan manusia yang  dilakukan untuk mendapatkan kebaikan akhirat saja atau kebaikan dunia dan akhirat. Seperti : shalat, dzikir, puasa, haji dan lain-lainnya.
[2] HR. al-Bukhâri no. 1 dan Muslim no. 1907.
[3] HR. Muslim no. 1006.
[4] Lihat Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah fi al-Ahâdits as-Shahîhah an-Nabawiyyah, Majmu’ah min al-‘Ulama’ (I’tana bihi : Mahmûd bin al-Jamîl Abu ‘Abdillâh), Cet. I, Tahun 1426 H, Dar al-Mustaqbal, Kairo, Hlm. 287.
[5] HR. al-Bukhâri no. 56.
[6] Diangkat dari  Risalah fi Tahqîq Qawâ’id an-Niyyah, Syaikh Walîd bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah II.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4409-kaidah-ke58-kebiasaan-berubah-menjadi-ibadah-dengan-niat-yang-shalih.html